ARTIKEL.Jacob Ereste,ekspresinews.com
Diskusi publik menguak peran kaum Wanita Indonesia dalam membangun bangsa dan negara dapat ditelisik sampai era Tjut Nya’ Dhien hingga Raden Ajeng Kartini. Masing-masing pejuang wanita Indonesia semasa itu telah memberi kontribusi besar tidak kecuali dalam upaya mengusir penjajah dari Nusantara.
Tjut Meutia, wanita kelahiran 15 Februari 1870 di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara dari Kesultanan Aceh hingga gugur lada 24 Oktober 1910 akibat tiga butir peluru saat bertempur melawan serdadu Belanda.
Demikian juga Dewi Sartika, wanita kelahiran 4 Desember 1884 dari keluarga priyayi Sunda. R. Rangga Somanegara dan RA. Rajapermas. Perjuangan Dewi Sartika setelah Wafatnya Raden Ajeng Kartini berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dan kesejahteraan bagi kaum wanita Indonesia melalui bidang pendidikan. Dewi Sartika lahir 4 Desember 1884 dan menikah dengan Raden Kunduruhan Agah Suriawinata, hingga wafat pada 11 September 1947. Ketokohan Dewi Sartika yang gigih itu memang tidak banyak diketahui dan dipublikasikan. Tapi jasanya tidak bisa diabaikan.
Sama juga dengan Raden Ayu Lasminingrat yang lahir pada 29 Maret 1854 dan wafat pada 10 April 1948 pelopor masyarakat Sunda dan pendiri Sekolah Keutamaan.
Tjut Nya’ Dhien pejuang wanita Aceh yang gigih dan tangguh, lahir pada 12 Mei 1848 dan wafat dalam pengasingannya di Gunung Puyuh, Sumedang Jawa Barat, 6 November 1908. Sebagai keluarga bangsawan yang enak dan mapan, anak Teuku Nanta Seutia, seorang Uleebalang VI Mukim, keturunan Datuk Makhudum Sati dari Minangkabau yang juga merupakan keturunan Laksamana Muda Nanta sebagai perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Semasa kecil, Tjut Nya’ Dhien ikut dalam pendidikan agama yang kuat. Karena cantik, pada usia 12 tahun dia sudah dinikahkan orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Tjek Ibrahim Lamnga, putra dari Uleebalang Lamnga XIII hingga memiliki satu anak.
Lebih dahsyat lagi adalah Keumalahayati, putri dari seorang Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah pada tahun 1530 hingga 1539. Sultan Salahuddin Syah sendiri merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah yang memerintah di Kesultanan Aceh pada 1513 hingga 1530 yang juga pendiri dari Kerajaan Aceh Darussalam.
Keumalahayati tercatat sebagai wanita dari Kesultanan Aceh yang pernah menjabat sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana, Panglima Ragasia, dan Panglima Protokol Pemerintahan dari Sultan Saidil Mukammil Alaudin Riayat.
Laksamana Keumalahayati lahir pada 1 Januari 1550 hingga wafat pada 30 Juni 1615 juga memimpin 2.000 pasukan Inong Balee (Janda-janda para pahlawan yang sahid). Pasukan Inong Balee langsung berhadapan dengan pasukan Armada Belanda hingga pada 11 September 1599 berhasil membunuh Cornelis de Hiutman dalam pertempuran langsung di atas gladak kapal.
Sekilas nukilan sejarah sekedar untuk bahan sandingan untuk menelisik peran kaum wanita Indonesia hari ini, mulai bidang pendidikan (membangun kesadaran masyarakat) hingga kiprah dalam politik pada Pemilu 2024 yang nyaris tidak terdengar gaungnya. Padahal dalam UU Pemilu kuota kaum wanita telah mendapat porsi sebesar 30 persen yang belum bisa maksimal dimanfaatkan.
Lalu apa yang seharusnya dapat dilakukan oleh kaum wanita Indonesia hari ini agar dapat lebih maksimal berperan membangun jiwa dan raga bangsa serta negara Indonesia ?
Inilah pokok bahasan yang menarik, setidaknya untuk mempersiapkan diri menyongsong Kongres Kaum Wanita pada 22 Desember 2023 yang telah menjadi kalender event kaum wanita Indonesia secara nasional. Dan peranan kaum wanita Indonesia bagi bangsa dan begara serta perdamaian dunia, pun dapat diselaraskan dengan hasrat Aspirasi Emak-emak Indonesia untuk memperjuangkan Islamophobia menjadi perhatian umat manusia demi dan untuk kedamaian bersama.
Jakarta, 23 Nopember 2023