ARTIKEL,ekapresinews.com
Kepercayaan publik terhadap Polri dan aparat hukum lainnya sangat buruk. Turunnya TNI membenahi para pemotor bermental begal di Boyolali dan tempat lainnya adalah antitesa terhadap kebobrokan mental para kolega sambo di institusi bermerek wereng coklat itu. Fenomena tersebut merupakan salah satu wujud ketidakpercayaan rakyat terhadap penegakkan hukum di negara ini.
Masyarakat semestinya tidak perlu pura-pura buta bahwa institusi baju coklat kebanggaan media kompas itu sudah sedemikian parahnya. Rakyat jangan mudah tergiring dengan propaganda ‘demokrasi terancam’, ‘supremasi sipil tersandra’, ‘orde baru come-back’, dan berbagai diksi yang digaungkan beberapa komprador bermental parsial bin culas yang bermunculan pasca kasus tentara hajar preman-preman bermental kardus beberapa hari lalu.
Negara demokrasi yang dikendalikan para mafia hukum berbaju KUHP yang masif bertebaran di tubuh lembaga-lembaga hukum tak ubanya merupakan negara barbar. Aparat polisi bermental sambo, bandar narkoba, mafia tambang, jaringan penjaja 303, punguran liar untuk setoran ke atasan, praktek KKN, dan perilaku buruk lainnya berserakan dimana-mana, melintas pangkat dan jabatan, melintas wilayah, melintas generasi, di institusi itu.
Banyak yang heran melihat beberapa orang mengaku pakar yang berkomentar dengan tajuk ‘TNI urus knalpot’ akhir-akhir ini. Yang benar itu adalah ada Warga Negara Indonesia yang waras dan peduli keresahan publik, yang kebetulan berbaju tentara, turun gunung membenahi mentalitas warga yang brengsek bermoral bejat. Kenapa mereka turun gunung? Yaa, karena aparat hukum sibuk mengurusi bisnis ilegal-nya masing-masing.
Kita selalu akan ditersangkakan dengan pasal karet ‘menuduh, memfitnah, mencemarkan nama baik’, dan semacamnya. Katanya, harus ‘pakai kata diduga’. Ada lagi yang mengatakan jangan generalisir, harus ‘pakai kata oknum’, dan berbagai frasa mulia lainnya. Tapi ketika kita tanya berapa banyak polisi baik yang tersisa dari 450-ribuan anggota Polri yang ada di negara ini? Ada berapa jaksa baik yang tersisa di Kejaksaan? Ada berapa banyak hakim yang masih bisa dipercaya bijaksana dan adil di pengadilan-pengadilan kita? Ada berapa banyak penasehat hukum, pakar, ahli, dan advokat bermental baik di negara ini? Masih adakah orang benar di KPK sana, di Kemenkumham, di Ombudsman, dan lembaga-lembaga yang dibiayai negara ini? Semua pertanyaan itu tak berjawab. Jika pun masih ada yang baik-baik, hampir bisa dipastikan hanya karena mereka belum punya kesempatan dan akses untuk terlibat dalam praktek buruk yang merebak di kalangan institusi mereka.
Lihatlah si Bolong, Aksan, Rusmini, dan sekian polisi yang jadi korban akibat membongkar perilaku bobrok para anggota di internalnya. Mereka semua dipelasah, meminjam istilah orang Sumatera. Yang lainnya takut dan memilih diam. Ada banyak polwan jadi gundik boss-nya, ada banyak anak buah jadi tumbal perilaku korup dan pungli atasannya, ada banyak keluarga yang ditelantarkan oleh kepala rumah tangga yang berprofesi polisi dan atau aparat hukum.
Mengurus institusinya saja keteteran, bagaimana mungkin lembaga yang dibiayai ratusan triliun uang rakyat itu bisa mengurus penegakan hukum bagi 278 juta penduduk Indonesia? Belum lagi jika kita bicara urusan polisi dengan lembaga lain, semisal Polri dengan KPK yang sering berebut lahan garapan yang gemuk berlumpur moral bejat.
Sebagai generasi yang pernah hidup di era orde baru, saya menilai bangsa ini masih memerlukan kepemimpinan ala orde baru yang tegas, keras, dan memaksa. Perlu dipikirkan untuk melakukan revolusi di tubuh penegak hukum, terutama Polri, agar negara demokrasi berasaskan Pancasila dapat diwujudkan. Bukan negara dengan kewenangan hukum tak terbatas yang diserahkan bulat-bulat kepada para wereng coklat itu.
Pers, terutama yang berbasis jurnalisme warga, yang diharapkan dapat menjadi kontrol pengembangan negara demokrasi yang berlandaskan ‘hukum sebagai panglima’, akhirnya harus menyerah di cengkeraman UU ITE alias undang-undang taik. Satu hal yang boleh dikatakan sebagai sifat buruk orde baru dan tidak sejalan dengan demokrasi ala jaman now adalah pengekangan suara rakyat, pembredelan media, dan berbagai kebijakan memberangus suara rakyat.
Namun, apa bedanya dengan yang terjadi saat ini? Justru yang ada sekarang adalah pembuatan aturan pengontrol suara rakyat yang dijadikan sumber penghasilan gelap bagi aparat hukum dimana-mana.
Jaman orde baru, hanya pemerintah yang bertindak represif. Sekarang, siapa pun sesuka hati bisa melakukan tindakan represif terhadap siapa pun yang tidak disukai, menggunakan tangan-tangan aparat hukum. Lembaga partikelir dewan pecundang pers, misalnya, bisa dengan sesuka hati menyerahkan wartawan ke polisi untuk proses hukum hanya karena si wartawan bukan kaki tangan dewan yang saat ini sedang rebutan periuk nasi dengan BNSP itu.
Orang per orang lebih parah lagi otoriternya. Lihatlah si pangeran adat Lampung Timur, bernama Masrio tukang selingkuh, yang masih kerabat bupati setempat, dengan uangnya bisa membeli kewenangan Kapolres Jaki Al-zakar Nasution untuk menghukum siapa saja yang berani mengganggu aktivitas perselingkuhannya. Anak walikota Palopo di Sulsel sukses memenjarakan wartawan Asrul menggunakan tangan aparat dengan pasal uu taik. Anak pejabat yang korupsi, wartawan yang masuk bui. Hebat!
Bahkan, nasib wartawan Kalsel, Muhammad Yusuf, lebih tragis lagi, tewas di penjara Kotabaru, atas laporan oknum pesuruh mafia hitam Haji Isam, juga atas aduan terkait pemberitaan. Muhammad Yusuf membela rakyat yang terzolimi, tanah sumber penghidupan warga dirampas mafia, bukannya dibela negara, malah dibiarkan tewas mengering di penjara.
Pertanyaan sederhana, adakah yang berani bersuara lantang dan kritis di era demokrasi yang dibanggakan ini? Adakah Anda seberani Rocky Gerung dan atau beberapa gelintir warga yang akhirnya bolak-balik dipanggil polisi itu?
Jika Anda tidak berani bersuara di jaman orde reformasi saat ini, apa bedanya dengan jaman orde baru? Jika pejabat dan aparat hanya ingin mendengar ujaran sopan ungkapan santun dan berbagai sweet-lips lainnya dari rakyat, adakah yang berobah dari orde baru? Jika Anda jadi wartawan puja-puji sepanjang jaman di tengah kebobrokan aparat hukum dan pejabat pemerintahan sekarang ini, jangan menista alam orde baru.
Bagi saya, TNI tidak boleh digunakan untuk merampas tanah rakyat, seperti yang terjadi di Pulau Galang dan beberapa tempat lainnya. TNI tidak dibenarkan menyakiti hati rakyat. Tapi saya akan mendukung penuh, bahkan mendorong agar TNI dapat turun tangan melibas mentalitas dan perilaku buruk warga masyarakat yang merugikan orang lain.
Kenapa bukan polisi? Haha, silahkan lihat Mapolda Metro Jaya, punya gedung parkir beringkat-tingkat. Dari mana ribuan mobil yang parkir setiap hari di sana? Cek kantor polisi di wilayah Anda masing-masing. Tanyakan, berapa target bulanan dari komandan mereka? (*)
Penulis adalah Ketua Umum PPWI