ARTIKEL-Jacob Ereste, ekspresinews.com
Selayaknya, meski tak sampai punya rumah mewah, sepatutnya aktivis gaek ini memiliki rumah yang layak huni, sekalipun adanya di kampung. Atau pinggiran ibu kota negeri yang kaya raya ini. Tetapi realitasnya sepetak tanah pun yang ingin sekali doa bangun sampai usianya lebih dari setengah abad selaku aktivis tidak juga dia miliki. Bahkan rumah kontrak yang harus dibayar setiap tahun pun nunggak pembayaran unsurannya. Karena itu, banyak kawan termasuk para kerabatnya sendiri yang acap menyalahkan — atau bahkan mencibirkan diri dan nasibnya yang tragis ini, kesalahan sendiri yang tak mau ambil kesempatan dalam berbagai peluang yang pernah ada, kendati agak sedikit menggadaikan idealisme dan harga diri.
Toh, pilihan pilihan yang dianggap pahit itu tetap dia lakoni juga sampai hari ini dengan gaya hidup sangat sederhana, meski sesekali dia sering juga bergaya model orang kota yang lebih bohemian, non konformisme. Begitulah pilihan telah dilakukan, sesal kemudian tiada gunanya. Karena hidup toh tetap terus berjalan, walau kekayaan batin yang dia miliki berbanding terbalik dengan kondisi nyata dari kehidupannya yang hidup di negeri kaya raya ini bersama rakyat kebanyakan yang papa dan miskin. Toh, kekerasan hati dan jiwanya yang teguh sudah terlanjur membantu sejak awal menjadi aktivis yang langsung dibrondong dengan senjata laras di boulevard Kampus UGM tahun 1978 yang ketika itu sudah kesohor disebut kampus biru, tapi kini ikut menampik tudingan ijazah palsu.
Upaya untuk menjalani pols sederhana memang tidak sejurus dan searah dengan ideologi global yang semakin kesengsem dengan kapitalisme global yang kini lebih moderat tampilannya sebagai neo liberal sejak Orde Baru yang juga latah memakai banyak istilah sufisme yang acap kali semakin membingungkan untuk sekedar melakukan pembahasan terhadap problema dasar yang tengah terjadi, apalagi kemudian hendak menghadapi atau menyelesaikan masalah pokok yang menjadi penyebabnya.
Begitulah tampaknya resiko dari memilih pola hidup sederhana serta kukuh mempertahankan idealisme sebagai aktivis meski dahulu tidak terlalu banyak mengumbar kata dan kalimat heroisme dalam setiap ucapan maupun orasinya di atas panggung bahkan mimbar bebas pun yang sempat menyita banyak perhatian dan pengorbanannya seperti peristiwa kudatuli pada 27 Juli tahun 1996 yang cukup gegap gempita dan menghebohkan pada penghujung kekuasaan Orde Baru yang kemudian tumbang hingga kemudian menimbulkan berbagai penyesalan.
Organisasi serikat buruh yang menjadi wadah pilihan semasa Orde Baru berjaya dan berada pada puncak kekuasaannya tahun 1990 sungguh memiliki resiko yang lumayan gawat, setidaknya gampang untuk dituding dan dikriminalisasi berhaluan komunis. Kendati latar belakang mayoritas para aktivis yang ada di dalamnya berasal dari keluarga penganut agama yang berpaham ortodok. Pendek kata bisakah disebut lebih lunak dengan istilah tradisional yang belum tersentuh pemikiran modern.
Persis seperti pilihan gaya hidupnya yang agak naib dan absurd hanya untuk mempertahankan idealisme dan harga diri sebagai aktivis, meski harus menghadapi berbagai kesulitan ekonomi karena memang tidak pernah terlintas di dalam pikirannya tidak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menjadi orang kaya. Meskipun dalam berbagai kesempatan melakukan kaderisasi ia sendiri pun acap berseloroh, bahwa keberanian seorang aktivis yang sesungguhnya adalah keberanian dirinya untuk menjadi orang miskin.
Seloroh yang acap dia sampaikan dalam ekspresi wajah yang dingin ini, memang tidak sedikit mendapat apresiasi yang serius dari sejumlah kader yang cukup banyak ikut nyantrik pada dirinya. Dia pun termasuk penganut aliran pemikiran yang keras. Seperti stempel terhadap seseorang atau kelompok tertentu yang perlu dilakukan intimidasi dengan menempelkan stempel fundamental kepada yang bersangkutan agar dapat memperoleh legitimasi untuk melakukan tindakan yang diperlukan.
Namun semua itu cerita dari sisi yang lain. Tapi dari realitas kehidupannya sehari-hari hari sampai hari ini, hasratnya yang paling sederhana ingin memiliki sepetak kebun sebagai tempat menghibur diri pada masa tua dan berolah sekedar untuk menjaga akal sehatnya tetap waras, toh tak juga kesampaian sampai sekarang. Tentu saja hasrat ini tetap dia pendam, tanpa seorang pun yang tahu, seperti keinginannya untuk membukukan sejumlah pemikiran serta gagasan yang sudah tertuang dalam berbagai bentuk tulisan yang tersebar di dalam media massa. Sehingga dalam berbagai kesempatan, dia sempat bergumam, mungkinkah nasib tragis tentang tulisan karyanya itu baru akan terbit setelah penulisnya mati seperti para tokoh legendaris yang tidak kalah dramatik kehidupannya karena tidak memiliki apa-apa, kecuali pemikiran kritis seorang aktivis semata. Sehingga di batu nisannya tidak juga ada keterangan apa-apa sekedar untuk menerangkan siapa dirinya.
Banten, 6 Juli 2025
Artikel Jacob Ereste
#Terintegrasi Mediacetak AMPER@ PressTASI PUSAKA EksPRESSi MEREKAT dan JAringan Wartanet Aktivis Relawan nusantarA
📲083148223467. 081802391556. 085701336668. 083117120679





