ARTIKEL.Jacob Ereste,ekspresi news.com
Akhlak itu berasal dari kata khuluqun yang artinya adalah budi pekerti yang meliputi perangai, tingkah laku atau tabiat dari sifat seseorang berikut pengalaman serta perolehan pendidikan yang melatar belakangi tradisi dan budaya dari keluarga yang memiliki andil besar dalam membesarkan hingga dewasa dan berusia tua.
Tabiat dan sifat yang dipandu oleh akhlak ini melekat pada jiwa setiap manusia dalam mewarnai segenap hasil dari apa yang dia perbuat, hingga berdampak — atau bermanfaat — baik atau buruk bagi orang lain serta lingkungan hidup sekitarnya.
Itulah sebabnya, etika dan moral juga sangat diperlukan untuk alam dan lingkungan serta bagi makhluk hidup lainnya. Sebab cara manusia dalam memperlakukan alam, lingkungan dan makhluk hidup lainnya itu — tidak hanya sebatas manusia maupun malaikat serta makhluk gaib lainnya — tetapi dalam berbagai aspek kehidupan yang lain juga memerlukan tatanan etika bahkan nilai-nilai moralitas yang sepatutnya perlu disertakan pula.
Istilah moral sendiri konon ceritanya dari bahasa Latin “mos” yang secara sederhana berarti kebiasaan. Demikian makna moralitas bisa dipahami untuk perbuatan manusia dalam melakukan tindakan secara positif. Sehingga untuk mereka yang tidak bermoral dapat disebut amiral — tidak beradab — dalam takaran nilai-nilai yang jamak bagi manusia yang lain.
Sebagian orang acap mengatakan bahwa moral itu adalah produk dari budaya dan agama. Sehingga moralitas akan mencerminkan penghayatan keagamaan yang diyakininya serta nilai-nilai budaya yang diwarisinya dari keluarga, lingkungan, tempat serta warna dari pendidikan yang ditempuhnya. Termasuk dari habitat pergaulan yang melatar belakangi pengalaman ilmu, pengetahuan serta pengembaraan intelektual dan spiritual yang pernah dilakukan oleh yang bersangkutan.
Karena itu, gagasan untuk melakukan revolusi mental tidak akan menghasilkan perubahan yang maksimal, karena tidak didasari oleh revolusi moral. Sebab revolusi mental hanya sebatas keberanian — nyali — hanya sekedar untuk melakukan sesuatu tanpa pendalaman dari suatu keinginan yang beranjak dari kedalaman hati atau ghiroh, semacam etos kerja yang dilandasi dari kedalaman jiwa, sehingga menjadi semacam ruh yang menghidupi manusia.
Revolusi mental itu hanya sebatas keberanian, ketambengan, bukan hasrat atau kekuatan yang digerakkan oleh kekuatan bathin atau ruh yang tiada terukur kekuatannya yang maha dahsyat itu.
Jadi, revolusi moral sesungguhnya yang diperlukan oleh bangsa Indonesia sejak beberapa tahun silam hingga hari ini, agar dapat mengubah cara berpikir yang tidak cuma sekedar mengandalkan kekuatan, otak, kekuatan fisik, tetapi juga harus disertai dengan kekuatan bathin yang lebih bersifat spiritual adanya dari kedalaman hati setiap manusia.
Akibat dari kemandegan atau bahkan kemerosotan moral — yang bermula dari etika hingga kemudian bermuara pada akhlak — maka kerusakan cara melakukan tata kelola negara yang langsung berdampak kepada tata kelola berbangsa, telah menimbulkan berbagai kerusakan sistem seperti yang terjadi di Indonesia pada hari ini.
Korupsi terjadi di semua tempat dan wilayah — eksekutif, legislatif maupun yudikatif — sehingga rakyat menganggap perlu mengambil dan menentukan sikap sendiri dalam menghadapi kondisi dan situasi yang tidak menentu seperti yang terjadi selama ini.
Hukum dan perundang-undangan yang telah menjadi komoditi politik bahkan komoditi ekonomi dapat dipertukar-belikan di ruang peradilan. Sistem ijon rancangan
UU — pesanan — sudah menjadi pengetahuan banyak orang. Mulai dari bisnis perkara hingga transaksi dari dalam Lembaga Pemasyarakatan pun telah sudah dianggap jamak dan wajar. Bila tidak, maka masing-masing pihak dari para pelaku — penyuap dan yang disuap — akan merasa sangat dirugikan oleh kesempatan dan peluang yang saling menguntungkan itu. Akibatnya, memang akan semakin memperparah penderitaan warga masyarakat kecil — yang tidak berpunya — ketika terpaksa dan harus mengalami kejadian yang serupa. Meski tak sepenuhnya sama.
Jika moral dapat dipahami sebagai batasan pikiran, prinsip, perasaan, ucapan dan perilaku yang diwujudkan dalam suatu tindakan yang baik dan buruk, atau benar dan salah — semuanya jelas tetap disandarkan pada agama yang diyakini oleh yang bersangkutan. Itulah sebabnya gerakan kebangkitan serta kesadaran hingga pemahaman spiritual yang ada pada semua agama langit menjadi sangat relevan dilakukan di Indonesia untuk menjadi kiblat dari peradaban dunia yang semakin renta dan ngaco, sehingga berbagai hal semakin terjerumus dalam orientasi material, dan terus menjauh dari spiritual. Celakanya, semua ini dominan dipicu oleh kalangan akademisi, utamanya bagi mereka yang fanatis untuk lebih mengunggulkan kemampuan dari keilmuannya yang menjadi kepongahan kaum intelektual. Realitas ini seperti yang dibuktikan oleh jumlah mereka yang bertengger di puncak menara perguruan tinggi terjerembab dalam kubangan korupsi. Maka itu, yang dibutuhkan bangsa dan negara Indonesia hari ini adalah revolusi moral, bukan revolusi mental. Setidaknya, untuk urusan mental sesungguhnya sudah selesai bagi segenap warga bangsa Indonesia. Pemberani, bernyali, tapi sungguh tidak bermalu. Rakus dan kemaruk. Bukan cuma soal harta, tapi juga kerakusan akan kekuasaan. Maka itu kendalinya hanya bisa dilakukan dengan gerakan kebangkitan dan kesadaran serta pemahaman spiritual. Terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebab azab atas kezaliman yang telah dilakukan itu pasti ada imbalannya dari Tuhan.
Banten, 20 Januari 2024
#Terintegrasi MC.AMPER@ PressTASI PUSAKA dan JAringan Wartawan Aktivis nusantaRA