Search
Tertarik Pasang Iklan ? Hubungi

Agenda Aspirasi Emak-emak Indonesia Untuk Hari Libur Nasional Pada setiap tgl 15 Maret untuk memperingati Hari Anti Islamophobia Internasional (Oleh: Jacob Ereste)

IMG-20240304-WA0013

Agenda Aspirasi Emak-emak Indonesia Untuk Hari Libur Nasional Pada setiap tgl 15 Maret untuk memperingati Hari Anti Islamophobia Internasional (Oleh: Jacob Ereste)

ARTIKEL.Jacob Ereste,ekspresinews.com
Aspirasi Emak-emak Indonesia yang dikomando Wati Salam Imhar Burhanudin merupakan satu diantara sedikit organisasi sosial kemasyarakatan yang juga diinisiasi oleh almarhum Babe Riduan Saidi ikut memperjuangkan agar pada setiap tanggal 15 Maret (2022) dapat dijadikan hari libur nasional, terkait dengan resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang menetapkan sejak tahun 2022 pada 15 Maret sebagai hari internasional untuk menangkal Islamophobia di dunia.

Naibnya, justru negara Indonesia terkesan acuh tak acuh dengan momen penting ini untuk ikut meredakan sentimen keagamaan yang seharusnya tidak perlu terjadi di Indonesia. Hingga jalinan kerukunan umat beragama di Indonesia dapat menjadi kekuatan bagi suku bangsa Indonesia yang sangat beragam dan tekun menjalankan tuntunan maupun ajaran agamanya masing-masing dengan baik dan rukun. Bahkan tak sedikit dalam satu keluarga tertentu terdiri dari bermacam ragam agama dari langit.

Umat Islam sendiri yang percaya bahwa Islam yang sejati itu mengusung rahmatan lil alamin — pembawa kebaikan bagi seluruh umat manusia, tidak hanya sebatas kaum Muslimin semata — sungguh dapat menjadi pegangan bagi semua manusia yang ada di muka bumi.

Sidang Umum PBB pada 15 Maret 2022, jelas memiliki cukup alasan yang rasional untuk mengeluarkan resolusi penting ini. Setidaknya, mengacu pada kasus kaum Muslimah di India yang melakukan aksi unjuk rasa menentang pelarangan berjilbab merupakan bagian dari pertimbangan atas resolusi tersebut. Karena resolusi PBB tentang Islamophobia ini jelas hendak mengingatkan agar masyarakat di dunia menyadari bahwa sikap memusuhi atau semacam kebencian terhadap Islam itu tidak patut terjadi, apalagi hendak dibesar-besarkan seperti yang selalu disebut biangnya teroris.

Andai pun perilaku teroris itu sumbernya adalah Islam, seyogyanya warga masyarakat dunia — terutama di Indonesia — bisa menelisik sebab musababnya secara lebih jauh, mengapa semua itu harus terjadi dan terpaksa dilakukan ?

Islamophobia telah menjadi fenomena global. Padahal di dalam kancah olah raga, hijrahnya Cassius Marcellus Clay, justru pada masa puncak ketenarannya sebagai petinju legendaris dunia pada abad ke 20, dia masuk Islam dan resmi mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.

Ada juga Bradly Philips, musisi berdarah Jamaika yang semula percaya pada seni dan cinta sebagai agama. Dalam perjalanan karier keseniannya pada tahun 1960 pentas di Malaysia dan Indonesia. Karena terkagum terhadap pemeluk Islam di kedua negara Nusantara ini jadi tertarik mendalami Islam hingga akhirnya bersyahadat. Lalu memilih pensiun sebagai musisi untuk mengikuti kuliah lebih dalam di Jurusan Studi Islam Universitas Islam Madinah. Terus berlanjut pada program Master di Universitas Riyadh dan menjadi pembawa acara Why Islamic di Chanel Two, stasiun televisi pemerintah Arab Saudi.

Saat Perang Teluk berkecamuk tahun 1990, Bradley Phillips yang mengubah namanya menjadi Abu Amina Bilal Philips bekerja di Departemen Agama Arab Saudi. Ketika tentara Amerika Serikat bermarkas di Arab Saudi, ia terpilih menjadi pemberi materi tentang Islam. Hasilnya, sekitar 3.000 serdadu Amerika Serikat itu semua menjadi mualaf.

Lain lagi cerita tentang Ingrid Mattson, seorang aktivis, atheis yang tidak percaya adanya Tuhan. Sebagai mahasiswa Jurusan Seni dan Filsafat di Universitas Waterloo, Ontario, tahun 1986 ia menjadi mualaf dan berhijab, setahun setelah menjadi relawan di Pakistan. Dan peraih gelar doktoral dari Universitas Chicago ia menjadi pendidik Umat Islam di Canada, dan pemimpin organisasi Islam yang sangat berpengaruh di Amerika. Bahkan sebelumnya tercatat juga sebagai Presiden Masyarakat Islam di Amerika Utara.

Dari beragam kesaksian dan pengalaman nyata para pelaku sejarah ini, Islam sungguh telah membuktikan pembawa rahmatan lil alamin bagi manusia, tidak cuma bagi pemeluk Islam semata.

Lantas mengapa sampai adanya konvensi PBB ikhwal masalah Islamophobia yang berlaku dalam skala global (internasional) itu ?

Kesaksian Todung Mulya Lubis selaku Duta Besar Indonesia di Oslo pernah menyampaikan rasa keprihatinan terkait insiden pembakaran Kitab Suci Al Qur’an pada 26 November 2023 kepada Kementerian Luar Negeri Norwegia akibat dari penistaan terhadap Islam ini. Demikian juga dengan insiden yang terjadi saat unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia pada 21 Januari 2023. Demikian juga keculasan Edwin Wagensveld yang merobek beberapa halaman Al Qur’an dan menginjak-injak kitab suci Umat Islam ini di dekat gedung Parlemen Belanda di Den Haag.

Insiden yang bisa memicu kerusuhan antar agama itu menggugah sejumlah pemerintah dari berbagai penjuru dunia melakukan protes dan mengecam aksi yang tidak beradab itu, karena bisa menyulut kerusuhan yang lebih gawat. Setidaknya, dari aksi bar-barian ini, negara Irak langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Swedia sebagai bentuk protes yang nyata terhadap penodaan kitab suci Umat Islam ini. Bahkan, Irak juga menarik kuasa usahanya dari Swedia serta mengusir Duta Besar Swedia dari Irak seketika itu juga.

Artinya, masalah Islamophobia yang telak memaksa PBB mengeluarkan resolusi pada 15 Maret 2022 itu membuktikan masalahnya yang dihadapi Umat Islam di dunia sungguh serius. Tapi mengapa respon pemerintah Indonesia sendiri justru melempem, tak memberikan apresiasi secara wajar untuk kemudian menetapkan momentum penting yang dilakukan PBB itu menjadi kalender atau hari libur nasional di Indonesia ?

Agaknya, untuk mengapresiasi perhatian atas kepedulian dari resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa yang telah mensahkan tentang Islamophobia tersebut perlu didalami dan dibahas lebih serius pada pada 15 Maret 2024 nanti, setidaknya oleh Aspirasi Emak-emak Indonesia yang telah memposisikan diri sebagai sebagai pejuang Islamophobia masuk dalam dalan kalender atau hari libur nasional, agar dapat menjadi perhatian serta kewaspadaan semua pihak demi dan untuk kerukunan umat beragama di Indonesia yang masih rentan untuk dijadikan bahan
Aspirasi Emak-emak Indonesia yang dikomando Wati Salam Imhar Burhanudin merupakan satu diantara sedikit organisasi sosial kemasyarakatan yang juga diinisiasi oleh almarhum Babe Riduan Saidi ikut memperjuangkan agar pada setiap tanggal 15 Maret (2022) dapat dijadikan hari libur nasional, terkait dengan resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) yang menetapkan sejak tahun 2022 pada 15 Maret sebagai hari internasional untuk menangkal Islamophobia di dunia.

Naibnya, justru negara Indonesia terkesan acuh tak acuh dengan momen penting ini untuk ikut meredakan sentimen keagamaan yang seharusnya tidak perlu terjadi di Indonesia. Hingga jalinan kerukunan umat beragama di Indonesia dapat menjadi kekuatan bagi suku bangsa Indonesia yang sangat beragam dan tekun menjalankan tuntunan maupun ajaran agamanya masing-masing dengan baik dan rukun. Bahkan tak sedikit dalam satu keluarga tertentu terdiri dari bermacam ragam agama dari langit.

Umat Islam sendiri yang percaya bahwa Islam yang sejati itu mengusung rahmatan lil alamin — pembawa kebaikan bagi seluruh umat manusia, tidak hanya sebatas kaum Muslimin semata — sungguh dapat menjadi pegangan bagi semua manusia yang ada di muka bumi.

Sidang Umum PBB pada 15 Maret 2022, jelas memiliki cukup alasan yang rasional untuk mengeluarkan resolusi penting ini. Setidaknya, mengacu pada kasus kaum Muslimah di India yang melakukan aksi unjuk rasa menentang pelarangan berjilbab merupakan bagian dari pertimbangan atas resolusi tersebut. Karena resolusi PBB tentang Islamophobia ini jelas hendak mengingatkan agar masyarakat di dunia menyadari bahwa sikap memusuhi atau semacam kebencian terhadap Islam itu tidak patut terjadi, apalagi hendak dibesar-besarkan seperti yang selalu disebut biangnya teroris.

Andai pun perilaku teroris itu sumbernya adalah Islam, seyogyanya warga masyarakat dunia — terutama di Indonesia — bisa menelisik sebab musababnya secara lebih jauh, mengapa semua itu harus terjadi dan terpaksa dilakukan ?

Islamophobia telah menjadi fenomena global. Padahal di dalam kancah olah raga, hijrahnya Cassius Marcellus Clay, justru pada masa puncak ketenarannya sebagai petinju legendaris dunia pada abad ke 20, dia masuk Islam dan resmi mengubah namanya menjadi Muhammad Ali.

Ada juga Bradly Philips, musisi berdarah Jamaika yang semula percaya pada seni dan cinta sebagai agama. Dalam perjalanan karier keseniannya pada tahun 1960 pentas di Malaysia dan Indonesia. Karena terkagum terhadap pemeluk Islam di kedua negara Nusantara ini jadi tertarik mendalami Islam hingga akhirnya bersyahadat. Lalu memilih pensiun sebagai musisi untuk mengikuti kuliah lebih dalam di Jurusan Studi Islam Universitas Islam Madinah. Terus berlanjut pada program Master di Universitas Riyadh dan menjadi pembawa acara Why Islamic di Chanel Two, stasiun televisi pemerintah Arab Saudi.

Saat Perang Teluk berkecamuk tahun 1990, Bradley Phillips yang mengubah namanya menjadi Abu Amina Bilal Philips bekerja di Departemen Agama Arab Saudi. Ketika tentara Amerika Serikat bermarkas di Arab Saudi, ia terpilih menjadi pemberi materi tentang Islam. Hasilnya, sekitar 3.000 serdadu Amerika Serikat itu semua menjadi mualaf.

Lain lagi cerita tentang Ingrid Mattson, seorang aktivis, atheis yang tidak percaya adanya Tuhan. Sebagai mahasiswa Jurusan Seni dan Filsafat di Universitas Waterloo, Ontario, tahun 1986 ia menjadi mualaf dan berhijab, setahun setelah menjadi relawan di Pakistan. Dan peraih gelar doktoral dari Universitas Chicago ia menjadi pendidik Umat Islam di Canada, dan pemimpin organisasi Islam yang sangat berpengaruh di Amerika. Bahkan sebelumnya tercatat juga sebagai Presiden Masyarakat Islam di Amerika Utara.

Dari beragam kesaksian dan pengalaman nyata para pelaku sejarah ini, Islam sungguh telah membuktikan pembawa rahmatan lil alamin bagi manusia, tidak cuma bagi pemeluk Islam semata.

Lantas mengapa sampai adanya konvensi PBB ikhwal masalah Islamophobia yang berlaku dalam skala global (internasional) itu ?

Kesaksian Todung Mulya Lubis selaku Duta Besar Indonesia di Oslo pernah menyampaikan rasa keprihatinan terkait insiden pembakaran Kitab Suci Al Qur’an pada 26 November 2023 kepada Kementerian Luar Negeri Norwegia akibat dari penistaan terhadap Islam ini. Demikian juga dengan insiden yang terjadi saat unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm, Swedia pada 21 Januari 2023. Demikian juga keculasan Edwin Wagensveld yang merobek beberapa halaman Al Qur’an dan menginjak-injak kitab suci Umat Islam ini di dekat gedung Parlemen Belanda di Den Haag.

Insiden yang bisa memicu kerusuhan antar agama itu menggugah sejumlah pemerintah dari berbagai penjuru dunia melakukan protes dan mengecam aksi yang tidak beradab itu, karena bisa menyulut kerusuhan yang lebih gawat. Setidaknya, dari aksi bar-barian ini, negara Irak langsung memutuskan hubungan diplomatik dengan Swedia sebagai bentuk protes yang nyata terhadap penodaan kitab suci Umat Islam ini. Bahkan, Irak juga menarik kuasa usahanya dari Swedia serta mengusir Duta Besar Swedia dari Irak seketika itu juga.

Artinya, masalah Islamophobia yang telak memaksa PBB mengeluarkan resolusi pada 15 Maret 2022 itu membuktikan masalahnya yang dihadapi Umat Islam di dunia sungguh serius. Tapi mengapa respon pemerintah Indonesia sendiri justru melempem, tak memberikan apresiasi secara wajar untuk kemudian menetapkan momentum penting yang dilakukan PBB itu menjadi kalender atau hari libur nasional di Indonesia ?

Agaknya, untuk mengapresiasi perhatian atas kepedulian dari resolusi Perserikatan Bangsa-bangsa yang telah mensahkan tentang Islamophobia tersebut perlu didalami dan dibahas lebih serius pada pada 15 Maret 2024 nanti, setidaknya oleh Aspirasi Emak-emak Indonesia yang telah memposisikan diri sebagai sebagai pejuang Islamophobia masuk dalam dalan kalender atau hari libur nasional, agar dapat menjadi perhatian serta kewaspadaan semua pihak demi dan untuk kerukunan umat beragama di Indonesia yang masih rentan untuk dijadikan bahan permainan politik.

Depok, 28 Februari 2024
Jacob Ereste
+62.813-2207-3701
#Terintegrasi MC.AMPER@ PressTASI PUSAKA dan JAringan Wartawan Aktivis nusantaRA

Berita Lainya...

Verified by MonsterInsights