ARTIKEL.Jacob Ereste,ekspresinews.com Menjelang lebaran (Perayaan Hari Raya Idhul Fitri) dahulu di kampung kami, suasana menyambut hari kebahagiaan yang menandai berakhirnya ibadah puasa Ramadhan selalu gegap gempita suasananya, mulai dari Ibu-ibu membuat menu sajian makanan dan minuman yang khas seperti lemang (sekubal) hingga dodol yang dibuat sendiri dengan minuman beragam buah-buahan yang menyegarkan.
Pendek kata, setiap rumah dari satu keluarga siap menerima siapa saja tamu yang singgah bersanjau melepas kangen dan rindu, utamanya untuk memberi dan meminta maaf sekiranya ada kesalahan dan kehilafan yang telah dilakukan, baik sengaja maupun tidak, meskipun sangat mungkin kesalahan kesilafan itu tidak pernah terjadi.
Tradisi meminta dan memberi permaafan ini, tentu saja merupakan ekspresi dari ketulusan hati — sikap ugagari — dalam posisi merendahkan diri, tidak pongah dan tidak sombong, seakan-akan eksistensi diri kita lebih baik atau lebih bersih dari orang lain. Bukan hanya sebatas sanak saudara dan family, tetapi juga sikap merendahkan diri dari tetangga, sahabat yang ada.
Itulah eksoresi ketendahan hati dengan riang dan gembira mengunjungi semua saudara, sahabat maupun tetangga yang ada disekitar tempat tinggal. Karena memang, kesadaran dari keberadaan tetangga yang ada di seitar tampat tinggal ini memiliki nilai lebih dari saudara sendiri yang jauh nun disana tempat tinggalnya. Sehingga ikatan kekeluargaan tetap terjaga dan bisa menjadi lebih intiem dibanding dengan saudara kandung sendiri.
Tradisi atau pun budaya yang sudah banyak meluntur di kampung kami itu dulu, kini tinggal kenangan yang semakin tergilas oleh budaya kota, atau mungkin jadi tergerus oleh tradisi yang datang dan pergi dibawa oleh generasi berikutnya dan generasi hari ini yang memiliki cita rasa dan selera sendiri, termasuk pada pola sikap kehidupan yang serba cepat dan instan menjadi keasyikan tersendiri yang mungkin tak perlu disesali. Sebab peradaban manusia memang terus melaju ke depan, walau sesekali rindu dan menoleh ke masa lalu.
Suasana lebaran dengan berbagai sajian menu yang selalu diupayakan tidak seragam dengan menu sajian di tempat lain, dapat dinikmati sesuka hati, seakan dalam suatu pesta kegembiraan dalam bentuk yang lain. Biasanya, suasana lebaran yang unik dan khas seperti di kampung kami ini dahulu, dapat berlangsung selama sepekan lamanya, hingga semua panganan dan minuman yang dibuat khusus untuk merayakan hari lebaran itu benar-benar ludes dan habis, kendati tradisi kunjungan masih acap terus berlanjut, lantaran untuk dapat mengunjungi sanak family yang lain cukup banyak, sehingga urutan prioritas untuk berkunjung pun perlu diatur seefektif mungkin, agar tidak satu pun dari saudara maupun sanak family — ternasuk sahabat karib — tidak sampai terlupakan. Sebab makna dari tradisi kunjung mengujungi ini, akan menjadi penakar ikatan persaudaraan atau pun jalinan persahabatan kita terhadap mereka yang akan merasa memperoleh perlakuan istimewa dari kunjungan tersebut.
Begitulah nilai spiritual ikatan kekeluargaan dan persahabatan yang mampu dijaga — atau bisa ditingkatkan nilai sakralitasnya yang menjadi salah satu kelebihan dari suku bangsa kita yang perlu direnungkan, ketika sikap individualistis semakin angkuh dari budaya kapitalistik yang semakin membuat kerenggangan dalam pertautan kemanusian, alam serta Tuhan yang menitahkan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Jacob Ereste : Banten, Menjelang Hari Raya Idhul Fitri, 1445 Hijriyah. (Nusantarajaya/Red) #Terintegrasi MC.AMPER@ PressTASI PUSAKA dan JAringan Wartawan Aktivis nusantaRA