“PUSER BUMI..”
( Caruban Nagari )
Puser Bumi ning Gunung jati
Pusat Segara Mulya Bhuana Djati
Siti Mulya Kagungan Ing Jaman Kina
Dodokhane Para Wali lan Petapa
Puser Bumi Ning Gunung jati
Panggonane Semar Nagamula Ngayomi
Kasunyatan Hyang Ismaya turut hampa
Ing Mayapada saking Tahta Swargaloka
Puser Bumi Puser Bumi
Prasastine Serat Purwa Jagat Sirri
Puser Bumi Puser Bumi
Pangrumpaka Sembah Kaula ing Gusti
Puser Bumi ning Gunung Djati
Petilasan Sang Mursyid Guru Haqiqi
Angababar Wahyu Djati Kanjeng Nabi
Mustakyoni Rosull Wali Insan Kamil
Puser Bumi Puser Bumi
Pancer Simar Marifat Agung Sejati
Awit Akhir Cahya Mulya dalan Bakti
Pitunduh Sesepuh dadi dalan Suci
Puser Bumi Puser Bumi
Pinunjuk Nur Cahaya Mulya Caruban Nagari
Panggelaring Dawuh Titah Sobdo Gusti
Pembabaring Piwulang Rahasia Azali
~ KISAH LEGENDA ASAL MUASAL PUSER BUMI ~
Konon, menurut dongeng dari Cirebon, Pulau Jawa sebelum ajaran Islam berkembang, adalah merupakan hutan rimba yang sangat angker. Penuh dengan rawa yang membanjir. Ditumbuhi banyak pepohonan besar dan semak belukar yang lebat.
Pada suatu masa di jaman Nabi Isa Al Masih, di salah satu puncak gunung, hiduplah seorang pertapa bernama Pendeta Bageral Banjir. Dipercaya bahwa gunung tersebut adalah Gunung Ciremai. Dan hanya pertapa sakti mandraguna pilihan Sanghyang yang dapat tinggal di puncak gunung ini.
Sang Pendeta melakukan tapa demi meminta kepada Sanghyang Maha Tunggal supaya diberikan ilmu Wijihing Srandil dan kesempurnaan hidup. Lima belas tahun sudah Pendeta Bageral Banjir bertapa di puncak Gunung Ciremai. Tak sia-sia, keinginannya dikabulkan oleh Sanghyang Maha Tunggal.
Bersamaan dengan Raga Sukma, ilmu Wijihing Srandil merasuk ke tubuh Pendeta Bageral Banjir. Sang Pendeta langsung merasakan tubuhnya menggigil kedinginan, dan akhirnya pingsan tak sadarkan diri.
Bersamaan dengan itu, tanpa disadari oleh Pendeta Bageral Banjir, Gunung Ciremai mendadak meletus dahsyat. Puncak Gunung Ciremai itu ambrol, terlepas, terpental melesat jauh ke awang-uwung (angkasa) dan akhirnya jatuh ke laut. Puncak Gunung Ciremai itu terombang-ambing di perairan laksana perahu dihantam ombak badai. Sementara itu, tubuh Pendeta Bageral Banjir telah raib. Hilang tanpa bekas, bak pindah ke dimensi lain.
Sayangnya, Pendeta Bageral Banjir justru hilang, saat ilmu Wijihing Srandil merasuk ke dalam tubuhnya. Hilang bersamaan dengan melesatnya puncak Gunung Ciremai tersebut lalu terombang-ambing di laut, saat gunung itu meletus.
Banyak pendeta lain yang datang untuk menyempurnakan yang telah dilakukan oleh Pendeta Bageral Banjir. Namun mereka mendapat perlawanan sengit dari para siluman penghuni Pulau Jawa. Para pendeta dan pengikut (atau pasukan) mereka, terpaksa mundur sampai sampai ke arah utara Jawa Tengah. Mereka membuat kantong-kantong pertahanan. Kantong pertahanan terakhir adalah pertahanan setengah lingkaran, yang kemudian disebut Pekalongan (berbentuk kalung).
Dalam keadaan terdesak, tiba-tiba datanglah pertolongan dari seorang yang sakti mandra guna, yang kemudian dikenal dengan nama Resi Wisesa. Dengan kesaktiannya, Resi Wisesa dapat mematahkan setiap serangan dari para siluman. Para pendeta dan pasukan mereka selamat dan dapat membalas serangan.
Setelah kondisi dirasa aman, Resi Wisesa pergi lagi entah ke mana. Sementara para pendeta dan pasukan mereka, dipimpin oleh Resi Gilingwesi, bergerak ke arah selatan. Pada satu titik (tengeran) yang merupakan salah satu paku Pendeta Bageral Banjir di suatu wilayah tegalan, mereka mendirikan pemukiman.
Pemukiman itu kemudian menjadi sebuah daerah kedaulatan bernama Madang Kamulan. Prabu atau raja pertama adalah Resi Gilingwesi sendiri. Namun gangguan dari para siluman kadang masih terjadi.
Daerah Pekalongan pun telah dikuasai kembali oleh bangsa siluman ular. Konon, pemimpin bangsa siluman ular tersebut adalah seorang Raja perempuan (Ratu) bernama Dewi Lanjar.
Prabu Gilingwesi wafat, dan kedudukannya digantikan oleh Prabu Parikenan, anaknya. Masa kekuasaan Prabu Parikenan tergolong singkat. Setelah berkali-kali mendapat serangan dari bangsa siluman, akhirnya Prabu Parikenan tewas di tangan Sadewa, anaknya sendiri, yang bersekutu dengan bangsa siluman. Sadewa naik tahta bergelar Prabu Cingkaradewa atau Prabu Dewata Cengkar.
Dalam legenda pewayangan versi Jawa, Prabu Parikenan adalah awal garis keturunan Pandawa.
Sementara itu, titik-titik paku (mantra pusaka yang menjadi tengeran) Pulau Jawa, telah berhasil disempurnakan oleh seorang yang bernama Resi Wisaka. Konon, Resi Wisaka adalah manusia setengah dewa yang berasal dari negeri para dewa (Parahyangan).
Resi Wisaka, mendengar kabar tentang Kerajaan Madang Kamulan. Kerajaan yang akhirnya dikuasai oleh Prabu Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar memiliki kelainan seksual. Sang Prabu adalah pecinta sesama jenis. Korban pelampiasan nafsunya adalah rakyatnya sendiri. Bila Sang Prabu telah bosan, orang tersebut akan dijadikan korban persembahan untuk makanan bangsa siluman, sekutu kekuasaannya.
Resi Wisaka berniat membebaskan rakyat negeri Madang Kamulan dari kezaliman Prabu Dewata Cengkar. Namun sebelum itu Resi Wisaka menemui dua orang abdinya yang bernama Dora (Sayid Abdurrahman) dan Sembadi/Sembodo (Sayid Abdillah/Abdullah). Sang Resi menitipkan suatu doa mantra kepada mereka berdua, agar doa itu diolah menjadi kunci mantra. Kelak kunci mantra itu akan diminta sendiri oleh Sang Resi dari mereka. Artinya, tak ada seorang pun yang boleh mengambilnya, selain Resi Wisaka.
Dalam perjalanan menuju Madang Kamulan, Resi Wisaka merubah dirinya menjadi seorang pemuda yang gagah dan rupawan bernama Wira Lodra. Saat Resi Wisaka menemui Prabu Dewata Cengkar, ternyata Sang Prabu terpikat oleh ketampanan Resi Wisaka. Tentu saja Prabu Dewata Cengkar hanya terpikat secara seksual.
Resi Wisaka dalam wujud Wira Lodra pemuda tampan itu, menyatakan bersedia menjadi pemuas nafsu Prabu Dewata Cengkar. Tapi dengan imbalan mendapat wilayah seluas kain sapu tangan Wira Lodra. Prabu Dewata Cengkar tertawa dan langsung setuju. Prabu Dewata Cengkar mengajak Wira Lodra ke sudut alun-alun untuk mempersilakan Wira Lodra membentangkan sapu-tangannya.
Wira Lodra mengeluarkan sapu-tangannya yang masih terlipat rapih. Lalu Wira Lodra menjatuhkan sapu tangan yang terlipat itu. Ajaib, sapu tangan itu membuka sendiri lipatan demi lipatan yang tiada hentinya. Khawatir wilayah kekuasannya akan tertutup oleh sapu tangan yang terus membentang membuka lipatannya, Prabu Dewata Cengkar memanggil para siluman sekutunya untuk membantu menghentikan bentangan sapu tangan itu.
Arah barat, utara dan timur telah berhasil dibendung. Namun arah selatan masih terus membuka lipatan. Prabu Dewata Cengkar mengejar lipatan yang ke arah selatan, kemudian menginjak lipatan tersebut. Terjadi adu kekuatan antara Prabu Dewata Cengkar yang menginjak lipatan sapu tangan, dengan mantra Wira Lodra yang berusaha membuka lipatan. Akhirnya Prabu Dewata Cengkar kalah kekuatan, dan terlempar hingga ke laut selatan.
Tapi Prabu Dewata Cengkar tidak tewas. Sang Prabu ditolong dan mendapat suaka dari negeri Bajul Putih (siluman Buaya Putih). Namun demikian, Kerajaan Madang Kamulan akhirnya dikuasai oleh Wira Lodra. Wira Lodra kembali ke wujud aslinya sebagai Resi Wisaka.
Resi Wisaka kemudian memboyong kekuasaan Madang Kamulan ke tanah Parahyangan dan menjadi Madang Galuh.
Bersamaan dengan itu, Resi Wisaka mengirim utusan untuk menemui Dora dan Sembadi. Tidak lain tujuannya adalah meminta kunci mantra yang sedang dikerjakan oleh mereka. Sekian lama, Resi Wisaka menunggu utusannya datang ke Madang Galuh membawa pusaka mantra, tapi tak kunjung tiba.
Sadar akan kesalahannya, Resi Wisaka datang sendiri menemui Dora dan Sembadi. Pusaka mantra tersebut memang telah rampung, tapi tidak diberikan begitu saja kepada sang utusan. Hingga Resi Wisaka sendiri yang akhirnya menjemput pusaka mantra tersebut.
Pusaka mantra tersebut diberi nama Carakan (utusan), yang kemudian kita kenal sebagai urutan huruf Jawa (Ha, Na, Ca, Ra, Ka, Da, Ta, Sa, Wa, La, Pa, Dha, Ja, Ya, Nya, Ma, Ga, Ba, Ta, Nga). Konon, pusaka mantra Carakan adalah kunci dari pengetahuan asal muasal kehidupan. Dalam legenda Yunani, pengetahuan itu tersimpan dalam kotak Pandora. Dalam legenda Jawa, pengetahuan itu adalah Ilmu Sangkan Paraning Dumadi.
Kisah Resi Wisaka ini, oleh masyarakat Jawa, diabadikan sebagai dongeng Aji Saka dari Bumi Majeti.
Sekian ratus tahun berlalu kisahpun berlanjut, Puncak Gunung Ciremai masih terombang-ambing di laut. Saat itu, datanglah seseorang ke puncak gunung yang terombang-ambing itu. Memperhatikan dengan seksama, kemudian meyakini bahwa tempat inilah yang dicarinya.
Itulah petilasan tempat bertapa Pendeta Bageral Banjir. Segera orang tersebut menuntaskan tapa yang pernah dilakukan Sang Pendeta. Usahanya tidaklah mudah, karena selalu mendapat gangguan dari para penghuni Pulau Jawa dari kalangan bangsa siluman.
Di tempat ini, orang tersebut mendirikan rumah gubuk dan bermukim. Kegiatannya di rumah gubuk ini, hanya beribadah saja. Orang tersebut yakin akan tempat yang dipilihnya ini. Orang ini selalu berdoa memohon petunjuk guna mengembangkan ajaran Islam di Pulau Jawa.
Tengah khusuk berdoa, tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara tanpa rupa. Suara itu sepertinya keluar dari pepohonan. Suara itu berkata bahwa tempat ini kelak akan menjadi tempat tujuan dan pusat (puser) berkembang-luasnya Agama Islam. Hal ini semakin memantapkan niatnya untuk tetap tinggal selamanya di tempat ini.
Dari tempat orang itu biasa duduk, terpancar sinar dari dalam bumi, menghadap permukaan tanah Pulau Jawa. Sinar itu menyoroti tempatnya duduk, dan berpendar ke seantero jagat negara-negara Islam. Orang tersebut kemudian dikenal dengan sebutan Syekh Nurul Jati atau Syekh Nurjati (Nur Ingkang Sejati). Sedangkan tempatnya duduk, kemudian dikenal sebagai Puser Bumi Gunung Jati.
Wallahu’aklambhissowab..
Sesungguhnya segala kebaikan adalah datangnya dari Allah dan jika ada kekhilapan mohon di maafkan…
Semoga bermanfaat..
Sumber :
DodiNurdjaja
UntoldStoryDodiNurdjaja
SuntingDidecatedForFeopleOfCarubanNagari
( didecated for people of caruban nagari)
Gambar ilustrasi : Raden Ampo
By jurnalist warga Harun Sutejo WAG ABS-Jejak Petilasan