ARTIKEL-Dikirim oleh Yusufi, ekspresinews.com
Yang bikin kisah Noel, Imannuel Ebenezer Gerungan, menarik bukan sekadar perjalanan “dari helm ojol ke peci istana, dari kopi tanpa gula ke anggur mahal,” tapi paradoks yang mengintainya.
Banyak relawan politik masuk gelanggang dengan modal miliaran, berharap kursi empuk atau minimal jatah komisaris BUMN. Namun, sebagian besar pulang usai pesta hanya membawa kesal, “Sudah capek dan keluar duit, kagak dapat apa-apa!”
Noel lain cerita. Ia merintis dari bawah, bukan lantas hadir ditengah. Ia berangkat dengan perut lapar, bukan dompet tebal. Alam semesta seakan berbisik saat ia berjuang, “Hadiah ketekunan perjuangan mu akan menunggu.”
Sayangnya, hidup sering bercanda sekaligus kejam. Apa yang kita kira “obat luka masa lalu” kadang berubah jadi racun masa depan. Helm ojol yang dulu sederhana dan setia ternyata lebih terhormat daripada peci istana yang akhirnya menyeret Noel memakai rompi oranye, keluar dari ruang penyidik dengan air mata menetes.
Air matanya mungkin tulus, tapi iblis tetap tersenyum kurang ajar di pojok ruangan KPK, seraya berbisik: “Elu sih, kebablasan. Gue enggak bertanggung jawab!”
Di sini, ada pelajaran agamis yang menohok. Jabatan, kekuasaan dan kemewahan bisa singgah pada siapa saja bila Tuhan berkehendak. Dari tukang parkir ke kursi wakil menteri, bukankah itu bukti kuasa-Nya?
Tapi setiap pemberian punya ukuran. Dan memang begitu Tuhan mencipta. Ketika manusia memaksa melampaui batas ukurannya, sesungguhnya ia sedang bermain-main di tepi jurang. Tuhan yang Maha Pemurah pasti bisa memberi, tapi sekaligus menghadirkan risikonya.
Kisah Wamen Noel akhirnya mengingatkan kita, hidup bukan soal setinggi apa kita mendaki, tapi sebijak apa kita berhenti di ketinggian yang memang ditentukan-Nya. Celakalah mereka yang melampaui batas, begitu kata guru agama mengutip kitab.***
Dikirim oleh Yusufi alumni llSIP Jakarta
+62 811-971-JGF
#Terintegrasi Mediacetak AMPER@ PressTASI PUSAKA MEREKAT dan JAringan Wartanet Aktivis Relawan nusantarA










