Dahulu diskusi atau debat di kalangan para ulama untuk menguji sebuah pendapat adalah aktivitas yang cenderung menyenangkan dan bermartabat. Karena semua pihak yang terlibat di dalamnya memahami tentang kaidah dan segala perangkat yang dibutuhkan dalam diskusi keilmuan.
Meskipun dulu dan sekarang sama saja akan selalu ada yang ketika beradu argumen nggak mau kalah, tapi mereka melakukannya dengan cara yang elegan.
Karena kalau caranya murahan dan tak bermutu, tentu dia akan malu karena tahu kalau orang lain itu mengetahui akan kengawurannya itu.
Sedangkan hari ini, arena diskusi dan perdebatan ilmiah berubah menjadi begitu buas dan mengerikan. Kata-kata kotor, sumpah serapah dan caci maki tak jarang kita temui.
Hal ini penyebabnya, bukan hanya karena medannya sudah semakin luas yang meliputi dunia nyata dan maya, tapi juga karena yang dihadapi di sana bahkan orang-orang yang tak memiliki modal kecuali kerasnya urat leher.
Mereka inilah yang kalau sudah bicara bisa seenaknya karena memang tak kenal aturan, tak butuh kaidah bahkan aqidah.
Sehingga kalau kemudian muncul semacam cabang keilmuan untuk membungkam orang-orang bodoh yang ikut campur yang bukan urusannya, ini adalah ilmu temuan belakangan.
Ulama terdahulu nyaris tidak mengenal adanya jenis ilmu ini, karena orang-orang bodoh zaman dahulu tidaklah tampil ke depan, atau hadir di meja diskusi, apa lagi lagi sampai terlibat dalam dunia tulis-menulis.
Berbeda dengan zaman hari ini. Setiap orang, seawam apapun dia bisa dengan pedenya berkoar-koar di atas mimbar bahkan menerbitkan karya-karya tulis yang tebal.
Bila dahulu untuk bisa menjadi guru yang mengajarkan ilmu, seseorang dituntut memiliki kemampuan di tingkat tertentu, sekarang untuk jadi pengajar atau ahli agama nyaris semua orang bisa melakukannya.
Padahal ulama hari ini sealim apapun tidak serta merta bisa beralih profesi jadi dokter atau berubah jadi insinyur. Tapi sebaliknya, dokter atau insinyur bisa berubah dan sah jadi ahli agama dalam hitungan hari bahkan hanya beberapa jam.
Seorang tukang ojek, pedagang, petani ataupun kuli bangunan sekalipun bisa berubah menjadi mufti lalu berfatwa halal haram kalau dia mau. Caranya tak harus dengan ngaji apalagi sampai nyantri bertahun-tahun, tapi cukup dengan hanya merubah penampilannya !
Maka sudah seharusnya hidup di situasi seperti ini, kita harus lebih berhati-hati dalam menerima informasi apa lagi yang kaitannya dengan ilmu agama. Biasakan menelaah dengan cermat dan meneliti dari mana sumbernya sebelum menelannya.
Sebagaimana wasiat sebagian ulama klasik terdahulu :
إن هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم
“Sesungguhnya ilmu adalah bagian dari agama kalian, maka perhatikanlah dengan baik dari siapa kalian mengambil ilmu tersebut.”
Wallahu a’lam