Cinta lama yang bersemi kembali, pasto indah dan penuh nostalgik yang patut dikenang. Mungkin juga bisa ikut membagi kebahagiaan bagi orang lain yang dapat menikmatinya sebagai hiburan.
Tapi masalah lama yang diungkit kembali, seperti menoreh luka lama menjadi luka baru. Lha, kalau kasus yang sudah terbilang basi — masak iya sejak tahun 2012 lalu setelah sepuluh tahun lebih sekarang, 2023 — masalahnya menjadi aneh atau bahkan ajaib. Dulu memang pernah mencuat “kasus duren dalam kardus” tapi kok diperem seperti tempoyak makanan khas Sumatra itu yang terbuat duren yang dipermentasikan hingga aroma dan rasanya jadi berubah, asem-asrm kecut. Tapi rasanya lebih nikmat untuk dipadukan dengan beragam gulai ikan termasuk seruit (sambel) yang khas itu.
Jadi kasus yang terkesan dipermentasikan itu sungguh aneh dan ajaib bisa dihangatkan kembali seperti makanan basi, sehingga seribu pertanyaan bisa muncul dan dapat diajukan kepada aparat penegak hukum yang telah melakukan permentasi kasus lama yang sersemi kembali itu.
Artinya — kalau memang benar kasus itu layak diungkit dan diangkat kembali — sepatutnya aparat penyidik ketika kasus itu dahulu mencuat juga ikut diperiksa. Karena dapat dipastikan telah terjadi kejanggalan — atau setidaknya aparat penyidik kasus itu dahulu patut diduga telah melakukan perselingkuhan hukum. Padahal — kalau saja Cak Imin tidak menjadi Calon Wakil Presiden — bisa jadi kasus yang sudah basi itu tidak akan dicuatkan kembali kepermukaan seperti yang disebut para ahli hukum di Indonesia ialah kriminalisasi.
Sangat mungkin juga — seperti spekulasi pendapat banyak orang — menggasak Cak Imin dengan kasus usang itu sesungguhnya untuk melumpuhkan Anies Rasyid Baswedan sebagai pasangan Calon Presiden yang menggandeng Cak Imin. Artinya, benar adanya muatan politis dibalik pengungkapan kasus lama yang digoreng kembali itu, seperti nasi dingin kemarin.
Sebagai rakyat yang penuh semangat serta aktif belajar politik model Indonesia mutakhir, beragam cara dan jurus dalam pertarungan politik menjelang Pemilu 2024 semakin meyakinkan bahwa etika politik memang jauh lebih terpuruk. Mungkin tak lagi ada yang tersisa dari etika politik di Indonesia — yang mengutamakan kemenangan — tanpa perlu mengindahkan sportifitas seperti petarung Unlimited Fighting Champion (UFC) yang juga telah menjajah suguhan acara televisi kita yang kehilangan ruh dan jiwa nasionalisme itu.
Karena itu semakin sulit untuk dimengerti, mengapa Pemilu di Indonesia masih ingin disebut pesta demokrasi rakyat. Sebab rakyat tidak merasa bergembira, apalagi sungguh dapat merasakan kebahagian. Karena yang dirasakan justru ketegangan dan rasa was-was penuh kecemasan. Seakan dunia akan rusuh dan menjadi ancaman bagi setiap orang. Sebab apapun bisa terjadi, tanpa pernah diduga sebelumnya seperti masalah KTP, soal dan kasus minyak goreng untuk singkong yang tidak kunjung bisa dipanen itu sampai musim paceklik sekarang ini.
RS. Dharmais, 5 September 2023