JAKARTA.Indonesia,ekspressinews.com
Ada paradoks kebahagiaan. Kebahagiaan bisa didapatkan justru ketika kita melepaskan pencarian kebahagiaan itu sendiri. Hal itu disampaikan penulis dan pengajar filsafat Reza AA Wattimena .
Reza AA Wattimena adalah pendiri Rumah Filsafat dan pembicara dalam diskusi di Jakarta (21/9), bertema Memaknai Kebahagiaan Hidup.
Diskusi diadakan oleh Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA, diketuai Denny JA serta dipandu oleh Swary Utami Dewi.
Reza menuturkan, paradoks adalah hal-hal seperti bertentangan, tetapi bisa hidup berbarengan dan menciptakan sebuah kebenaran. Jadi kesannya tidak logis dan tidak masuk akal. Tetapi itulah yang terjadi, itulah yang benar.
“Kalau kita mencari dan mengejar kebahagiaan, kita tak akan pernah bahagia. Sebaliknya, semakin kita mengejar dan merindukan kebahagiaan, semakin kita menderita. Ini yang disebut paradoks,” jelasnya.
“Dan hidup ini mayoritas memang paradoks. Seperti juga cinta. Kalau kita ngebet, ngoyo, cinta tidak didapat. Tetapi begitu kita santai, rileks, menjadi diri kita sendiri, menjadi otentik, cinta pun datang. Ini salah satu bagian dari paradoks kehidupan,” sambung Reza.
Reza mencoba meramu pendapat para pemikir kebahagiaan dari Timur dan Barat, dan menyimpulkan: Mencari kebahagiaan di obyek-obyek sementara itu sia-sia.
“Obyek sementara itu adalah sesuatu yang berada di luar diri kita, sesuatu yang ada di dalam waktu. Misalnya, uang, kecantikan, nama besar, ketenaran, rumah tangga. Dulu cantik, tetapi sesudah tua kecantikan itu hilang,” katanya.
Tetapi, ujar Reza, pencarian kebahagiaan ke dalam diri juga abstrak dan sulit. Butuh metode dan filsafat.
“Jadi alternatifnya apa? Pertama, melepaskan cita-cita untuk mencari bahagia. Lalu, bersedia menderita untuk sesuatu yang bermakna,” bahas Reza.
Misalnya, orang yang bekerja untuk keluarganya. Bekerja itu sulit, ada naik turunnya. “Tetapi jika kita bersedia menjalaninya untuk sesuatu yang bermakna, kita bahagia,” ungkap Reza.
“Ini adalah kebahagiaan yang lebih ajek, lebih sustainable. Kalau dalam tradisi pemikiran Asia, ini dinamakan jalan Bodhissatva. Orang yang mengabdikan hidupnya untuk menolong semua makhluk,” ungkapnya
(Biro-Arbiyanto/Redaksi)
Diakses MC.AMPER@
PressTASI dan PUSAKA