Search
Tertarik Pasang Iklan ? Hubungi

Politik Dinasty Di Negara Republik Hanya Mungkin Diperankan Oleh Mereka Yang Sudah Putus Urat Malunya

c584677e-3648-4260-8c99-5ac2b2177493-1.jpg

Politik Dinasty Di Negara Republik Hanya Mungkin Diperankan Oleh Mereka Yang Sudah Putus Urat Malunya



(PenulisJacob Ereste)

Pendapat Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Machfud MD tentang dinasty politik yang dipautkan dengan keluarga Presiden Joko Widodo, semakin meyakinkan bahwa politik dinasty — yang semestinya dinasty kekuasaan — benar adanya terjadi di Indonesia pada pemerintahan Joko Widodo, seperti yang riuh digunjingkan oleh berbagai kalangan.

Naibnya politik dinasty atau dinasty kekuasaan ini, tidak bisa diinguk dari tatanan etika, moral dan akhlak. Sebab pandangan fanatisme tentang hukum di Indonesia bisa dibenarkan, sebab tidak ada pasal yang melarang politik dinasty atau dinasty kekuasaan yang hendak dibangun dan dibudayakan itu.

Inilah celakanya, jika pengetahuan dan pemahaman tentang hukum abai pada tatanan etika, moral dan akhlak maupun nilai-nilai budaya kepatutan. Hingga kesan pembelaan terhadap perilaku yang tidak patut itu jadi mendapat pembenaran. Karena fanatis pada pandangan dan pemahaman terhadap hukum yang tidak melarang perbuatan yang tidak beretika dan tidak bermoral itu. Setidaknya, dalam tata negera berbentuk republik seperti Indonesia yang juga sudah sesumbar sebagai negara yang menyunggi demokrasi, maka birahi untuk menghadirkan budaya dinasty di republik ini sungguh tak bermalu. Apalagi kemudian memperoleh pembenaran dari pakar hukum tata negara yang sepatutnya harus bersandar kepada model dan bentuk negara berwajah republik, bukan negara model kerajaan.

Pernyataan Menko Polhukam ini dipublis secara resmi dalam acara Mata Najwa, seperti yang dikutif secara resmi pula oleh bergelora.com, Kamis, 19 Oktober 2023, bersamaan dengan hari pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2024.

Apalagi ada pemahaman bahwa dinasty politik itu tidak berada di negara demokrasi seperti Indonesia yang sudah disesumbarkan ke segenap penjuru jagat. Boleh jadi karena itu, sejumlah politisi dari berbagai negara akan mencibirkan mulutnya dengan wajah mengejek, mungkin sambil menggerundel pula dengan komentar yang minor.

Jadi pembenaran terhadap budaya politik dinasty atau dinasty untuk kekuasaan di negeri ini dianggap boleh-boleh saja karena secara hukum tidak ada larangannya, alangkah malangnya negeri ini melakukan pembiaran seperti itu, karena betapa banyaknya hal-hal yang busuk secara etika dan moral yang tidak ada larangannya secara, tetapi tidak patut dan tidak layak untuk dilakukan, karena bisa terkesan jadi biadab.

Memang tidak ada larangan secara hukum bagi anak seorang Presiden untuk menjadi Presiden, tetapi caranya dalam upaya mengarah pada usaha membangun dinasty politik itu jelas telah melabrak etika dengan tidak bermoral, karena bertentangan dengan semangat konstitusi kita yang seyogyanya menempatkan kedaulatan rakyat, bukan daulat baginda penguasa.

Tragis memang, penegak hukum di Indonesia seperti mata kuda yang cuma menatap pasal-pasal hukum semata — dan demi pembenaran — tak hendak menilik beragam kasus yang terjadi dengan etika, moral dan akhlak untuk menjaga kemuliaan manusia dengan cara yang adil dan bijak berdimensi moralitas.

Beragam kasus yang menghilang dan senyap tidak lagi dianggap menjadi persoalan seperti yang terjadi dalam kaus tindak korupsi serta pencucian uang 349 triliun di Kementerian Keuangan. Atau semacam skandal dana triliunan yang menguap dalam pembuatan KTP baru hingga sejumlah kasus lain seperti tindak pidana korupsi seperti yang sudah berulang kali dikatakan Machfud MD sendiri, terjadi di semua bidang, mulai eksekutif, legislatif maupun yudikatif dengan cara ijon atau pesanan sebelum modus korupsi itu terjadi atau dilakukan.

Machfud MD juga mengakui pelanggaran terkait dengan politik dinasty atau dinasty kekuasaan memang hanya bisa diprotes atas dasar sanksi sosial. Namun sialnya, sanksi spesial hingga moral pun tiada artinya di negeri yang dipimpin oleh pejabat publik yang sudah tidak lagi ada rasa malu. Sehingga dalam istilah kaum aktivis pergerakan, sanksi moral itu hanya berlaku pada mereka yang belum putus urat malunya. Seperti kemaluannya yang dibiarkan liar berkibar-kibar ke mana-mana dan dimana-mana.

Jadi sungguh benar adanya seloroh lucu dari Markasan, aktivis pergerakan yang tak lelah turun aksi ke jalanan, sesungguhnya kebenaran harus terus menerus diteriakkan, bila tidak, maka dusta dan kepalsuan yang mereka praktekkan akan menjadi kebenaran yang dipercayai banyak orang. Sama halnya dengan politik dinasty atau pun dinasty kekuasaan yang hendak dibudayakan hanya mungkin diperankan oleh mereka yang sudah putus urat malunya.

Monas, 20 Oktober 2023

Terintegrasi MC.AMPER@ PressTASI PUSAKA dan JAringan Wartawan Aktivis nusantaRA

Berita Lainya...

Verified by MonsterInsights