(Penulis: Jacob Ereste)
Rasa malu itu adalah batas terakhir dari harga diri. Karena itu orang jadi berani untuk bertarung — meski tahu pasti akan kalah — tetap menjadi pilihan yang tiada ragu sedikit pun.
Karena itu ketika urat malu seseorang telah putus, maka akan pupus pula segenap harga dirinya. Di dalam keyakinan warga masyarakat Nusantara, ada istilah siri. Ada juga fi’il pesengiri yang tak bisa ada tawar-menawar. Meski resikonya harus mati. Dalam tradisi masyarakat Melayu, lebih baik mati berdiri dari pada hidup bertekuk lutut.
Sikap rawe-rawe ratas itu pun sama saja dengan pertaruhan habis-habisan, dari pada mundur sejengkal dari prinsip yang diyakini sebagai harga diri itu. Maka itu, agak aneh jika sekonyong-konyong ada manusia Nusantara ini yang sudah tak lagi memiliki urat malu, sehingga apapun dilakukan tanpa lagi hirau pada etika, moral dan akhlak sebagai nilai kemanusiaan yang paling tinggi untuk dijunjung di atas mahkota yang dianggap paling terhormat itu. Sebab semegah apapun mahkota yang ada diatas kepala itu, tiada lagi ada artinya sama sekali. Oleh sebab itu, jabatan dan pangkat setinggi apapun, tak akan punya arti apa-apa ketika harga diri sudah jatuh dalam pandangan banyak orang.
Oleh karena itu, pangkat dan jabatan sekalipun harus diperoleh dengan cara yang terhormat. Tiada artinya bila dimiliki dengan cara yang culas seperti menghalalkan segala cara. Dan semua orang akan paham bagaimana keabsahan dari pangkat dan jabatan yang didapatkan dengan tipu daya yang licik dan tidak elegan.
Jadi yang menggeragas untuk mendapatkan pangkat atau jabatan yang tidak wajar itu, sama saja dengan menempelkan sejumlah gelar yang tidak ada bobot apapun yang tidak terbukti memiliki keampuhan apapun, kecuali hanya sekedar untuk gagah-gagagan belaka. Sama seperti ungkapan dari pepatah lama bahwa air beriak itu tanda tak dalam, agaknya bisa dipahami juga dalam makna yang nyaris sama.
Tetapi pada era serba palsu sekarang ini — mulai dari gigi palsu, ijazah palsu, beras palsu, hidung palsu, uang palsu — sesungguhnya menunjukkan bahwa fenomena dari aksesoris itu sebagai bagian dari upaya untuk menipu diri sendiri agar bisa tampil lebih mengesankan dalam upaya untuk menipu orang lain pula. Karena itu pernah ada masanya gairah untuk tampil lebih wah, meski semua yang digunakan itu adalah palsu, bukan milik diri sendiri, tetapi punya orang lain. Sebab persewaan atau foto-copian untuk beragam keperluan agar bisa terkesan tampil gagah dan wah, bisa dengan mudah untuk menggunakan milik orang lain. Atau, bisa juga dengan cara menyewa, seperti teman untuk mendampingi ke acara pesta.
Begitulah yang tengah menggejala sekarang ini. Dalam hidup dan penghidupan kita hari ini serba ada di tengah kepalsuan-kepalsuan yang semua. Atau semacam asesoris imitasi sekedar untuk menghias diri. Dalam proses pelaksanaan Pemilu 2024 pun, prakteknya tercermin mulai dari janji-janji palsu, keberadaan masa pendukung palsu yang dibayar karena para calon kontestasinya pun lumayan dominan mengusung lebih banyak kepalsuan.
Banten, 20 0ktober 2023