ARTIKEL-Jacob Ereste, ekspresinews.com
Dewa Cengkar yang sedang berkuasa dan semena-mena karena keluasan kekuasaannya yang tidak terbatas itu pada akhirnya akan membunuh dirinya sendiri. Demikian dongeng masa lalu yang menemukan momentumnya hari ini, ungkap Sri Eko Sriyanto Galgendu, pada beberapa kesempatan ngobrol santai bersama sahabat dan kerabat GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) yang letih untuk terus berjuang memberi landasan pijak bagi segenap warga bangsa Indonesia untuk membangun negeri yang kukuh dan tangguh dipagari oleh etos dan kecerdasan spiritualitas yang kuat sehingga membuat getaran frekuensi pada etika yang terus menyala hingga moral menggumpal dalam bingkai akhlak mulia, seperti pemberian illahi Rabbi bagi manusia terpilih, sebagai Khalifah Tuhan di muka bumi.
Semangat dan mitos Dewa Cengkar tiba-tiba muncul dalam narasi historis yang tertulis hari ini. Seakan-akan cerita masa lalu itu sedang berulang diperankan oleh Dewata Cengkar sebagai Raja dari negeri Medang Kamulan seperti tercatat dalam legenda Aji Saka. Alkisah, Dewata Cengkar adalah makhluk dari bangsa Denawa yang biadab. Penindas yang suka memangsa manusia. Dalam versi yang lebih dramatis, Dewata Cengkar juga menjabat Raja Raksasa yang zalim karena sangat teka mengorbankan rakyatnya menjadi tumbal.
Legenda Dewata Cengkar ini pun, sekonyong-konyong muncul dalam fantasi imajiner Sri Eko Sriyanto Galgendu, sebagai Pemimpin Spiritual Nusantara, sehingga dia mampu menuturkan dengan lancar seperti kisah Ratu Kidul yang juga tercatat dalam Serat Centhini. Karena itu, untuk menyebut para leluhur, semua orang sepakat mengatakan dalam istilah nenek moyang. Bukan dalam istilah bapak moyang. Maka baru menyusul kemudian istilah baru Bapak moyang yang mungkin sekedar untuk menegaskan adanya generasi berikutnya.
Tragika dari legenda Dewata Cengkar seperti memang tak berani disentuh oleh seniman teater Indonesia untuk diusung ke panggung pementasan. Bahkan sekedar untuk disebu pun, seakan pamali lantaran sikap dan watak Raja ini sangat tega melakukan jebakan secara licik dan licin menjadikan siapa saja sebagai tumbal. Terutama tentu saja kepada mereka yang ingin dia taklukkan agar terus menghamba pada kekuasaannya. Karena dengan begitu dia mampu untuk memposisikan dirinya sebagai Raja diraja.
Realitasnya sosok Dewata Cengkar yang sekonyong-konyong muncul dalam prolog Sri Eko Sriyanto Galgendu persis semacam pertanda dari manajemen wangsit yang pernah diungkap asisten ahlinya Wowok Prastowo. Karena kisah Dewata Cengkar tiba-tiba muncul begitu saja seperti menggambarkan kondisi Indonesia hari ini yang tengah dirundung bingung. Sebab terlalu banyak kejadian yang naib, seperti upaya penegakan hukum yang mengabaikan etika. Lalu mengubah hukum sesuka hati, bahkan menolah putusan hukum yang tak selaras dengan selera dan keinginan yang terlanjur kebelet.
Realitasnya begitulah kehidupan yang nyata terjadi hari ini di negeri ini. Seakan sedang menunggu angin puting beliung yang lebih dahsyat dan lebih mematikan untuk semua makhluk yang hidup, lantaran tak pernah sadar dan paham bahwa pada akhirnya pun akan mati juga.
Sehingga kisah Dewata Cengkar pun jadi hidup kembali di negeri ini, meski hanya semacam mitologi dalam versi yang lain, karena pada akhirnya pun akan tenggelam ditelan bumi. Hanya saja pada setiap do’a itu semua diharap bukan semacam pertanda bencana — apalagi malapetaka — sebagai karma atas azab dari perilaku degil yang kemaruk lantaran perilaku yang telah melampaui batas. Dari keganjilan serupa inilah sosok raja serta filosofis Jawa menjadi sandaran analisis, setidaknya dalam peradaban konon asal muasalnya harus diawali dengan kesadaran manusia sebagai khalifatullah di bumi (Hanacaraka). Kemudian Datasawala yang dimaknai hasrat untuk menjaga kerukunan — bukan justru dipandu domba seperti yang telah menjadi jurus baru dalam politik kekuasaan di Indonesia.
Sedangkan kejayaan hanya akan dicapai dalam kebersamaan. Persatuan secara lahir maupun batin yang dimaknai oleh petitih Padhajayanya seperti yang termuat dalam filosofis aksara Jawa. Hingga pada akhirnya, kematian — dalam arti sebenarnya maupun simbolika semata — ialah Magabathanga. Setidaknya, kejayaan apapun yang mampu diraih kemarin dan hari ini, esok pun akan segera berakhir. Dalam versi kamus Sansekerta, Hanacaraka Datasawala, Padhajayanya dan Magabathanga adalah instrumen untuk mengalahkan Dewata Cengkar yang entah berantah adalah usulnya tiba-tiba muncul dan hidup kembali di negeri kita hari ini.
Banten, 24 Agustus 2024
Jacob Ereste +62 838-0913-0XXX
#Terintegrasi Mediacetak AMPER@ PressTASI PUSAKA dan JAringan Wartawan Aktivis Relawan nusantarA