ARTIKEL-Jacob Ereste, ekspresinews.com
Menyetarakan seorang yang tidak jelas asal usulnya sebagai raha Jawa tidak hanya kecerobohan dan kebodohan, japi juga penghinaan atau ok-olok pada orang yang disetarakan dengan raja Jawa itu. Apalagi dalam kenotasi yang brutal semacam preman yang mau main gemuk ketika harus berhadapan dengan yang bersangkutan.
Kecuali itu, negeri ini telah diserahkan secara suka rela serta dukungan penuh dari masyarakat Keraton maupun Sultan untuk dikelola dengan sistem Republik dalam kesepakatan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segenap otoritas dan kekuasaan terhadap wilayah yang semuka berada dalam kekuasaan dan pengelolaan keraton atau masyarakat adat.
Jadi, kalau sekonyong-konyong muncul klaim ada Raja Jawa baru, itu artinya bukan hanya KW 3, karena pasti palsu alias kodian, semacam hiasan buatan kaki lima yang sangat tidak berkualitas.
Raja Jawa itu arief dan bijaksana, ugahari, lembah manah, ambek paramarta, tak sombong, tidak juga hendak menzalami orang lain, apalagi harus menggusur rakyat, membiarkan warganya terlantar untuk membeli bahan pangan yang terus melambung harganya. Bahkan Bansos pun, seperti minyak goreng yang dijadikan bahan sandra persis seperti yang dilakukan pada lawan politik lain yang dianggap membangkang, tak hendak patuh dengan raja Jawa palsu itu.
Mengidentikkan seseorang dengan sosok Raja Jawa sungguh melukai hati rakyat, karena seolah-olah Raja Jawa yang sesungguhnya itu sangat keji dan bengis, sehingga tega mencederai hati rakyatnya hingga nelangsa, harus membeli beras yang mahal, membayar rekening listrik dan air yang terus naik, dipaksa untuk melunasi beragam macam pajak yang semakin mencekik dan membebani hodup rakyat.
Kekonyolan dan kedunguan dalam menyamakan sosok seseorang yang tidak jelas juntrungannya dengan sosok Raja Jawa, sungguh menghina marwah para leluhur serta kebangsawanan seperti gelar adat yang sangat terhormat seperti Andi, Keraeng, Minak, Tubagus bagi masyarakat adat yang sangat menjunjung tinggi segenap warisan keluhur, termasuk gelar untuk menata perilaku unggah-ungguh dengan tuntunan etika, moral dan akhlak mulia yang bersangkutan bagi orang lain.
Agaknya, tak berlebih bila sebagian masyarakat adat, khususnya keraton menjadi resah akibat terganggu oleh pernyataan konyol seseorang yang menyetarakan Raja Jawa dari seseorang yang memiliki ulah dan tingkah polah konyol hingga menuai cercaan dari seluruh rakyat.
Betapa tidak, ikhwal muasal tidak hanya ketika mau memuluskan dinasty abal-abal yang hendak dibangun secara dengan paksa itu seperti Ibu Kota Nusantara untuk menguasai semua bidang — termasuk Mahkamah Konstitusi dan Mahkanah Agung, setelah DPR dapat dikumpulkan seperti bebek petelur – seluruh elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, kaum buruh hingga akademisi kampus tak hanya tumpah ke jalan raya melakukan protes dan unjuk rasa, tapi juga menyampaikan orasi keras secara objektif dan tertib, namun dihempang oleh aparat yang tidak memiliki hati nurani, hingga tega memukuli rakyat yang tidak bersenjata.
Ekspresi otentik dari rakyat yang terdiri dari berbagai elemen ini jelas ingin mengungkapkan kezaliman raja palsu harus dan wajib disanggah. Bila tidak, negeri ini akan semakin rusak parah. Maka sungguh wajar, bila gema revolusi muncul dan marak didengunhkan masyarakat sipil dari berbagai daerah dan kampus dari disegenap penjuru tanah air. Karena bila tidak dilakukan, maka dosa harus ikut ditanggung untuk generasi bangsa Indonesia berikutnya.
Pembangkangan pemerintah terhadap Konstitusi telah menyulut bara api revolusi rakyat yang sudah lama dijaga, kini telah liar menjalar ke mana-mana, tak lagi bisa ditahan dan dikendalikan.
Pecenongan, 25 Agustus 2024
Jacob Ereste +62 838-0913-06XX
#Terintegrasi Mediacetak AMPER@ PressTASI PUSAKA dan JAringan Wartawan Aktivis Relawan nusantarA