Search
Tertarik Pasang Iklan ? Hubungi

Artikel : lnspirasi di Bulan Suci Menjadi Manusia Terbaik

IMG-20230329-WA0031

Artikel : lnspirasi di Bulan Suci Menjadi Manusia Terbaik


Oleh : Dr. Didi Junaedi, M. A.
(Dosen Jurusan Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon)

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (Q.S. At-Tin: 4)

Dalam Kitab Tafsir Al-Wasith, Wahbah Az-Zuhaili memaknai kalimat fi ahsani taqwim pada ayat ke-4 dari surah At-Tin dengan “rupa terbaik serta bentuk terindah”. Lebih lanjut beliau menegaskan, “kebaikan dan keindahan itu dilihat dari keseimbangan struktur biologis (jasmani) dan psikologis (ruhani), dan dikuatkan dengan adanya potensi akal pikiran serta perasaan.” Inilah makna kalimat “dalam bentuk yang sebaik-baiknya”, menurut Az-Zuhaili.

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa kita semua terlahir ke dunia ini dengan kualitas terbaik. Hal ini dimungkinkan karena Allah Yang Maha Sempurna tidak mungkin menciptakan makhluk-Nya biasa-biasa saja. “…yang menciptakan dan menyempurnakan (ciptaan-Nya)”, demikian disebutkan dalam Q.S. Al-A’la ayat 2.

Dengan kualitas terbaik ini, tentu Allah menginginkan kita untuk menjalani hidup dan kehidupan dengan aktivitas terbaik pula. Inilah bukti rasa syukur kita yang sesungguhnya, yaitu memaksimalkan potensi yang telah Allah anugerahkan kepada kita.

Lantas, bagaimana agar kita dapat menjadi manusia terbaik?

Dalam sejumlah hadis, Rasulullah Saw. memberikan penjelasan tentang kriteria manusia terbaik. Berikut penulis sebutkan beberapa penjelasan tersebut.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya. Dan seburuk-buruk manusia adalah orang yang panjang umurnya dan buruk amalnya.” (HR. Ahmad)

Dari keterangan hadis di atas, jelaslah bahwa sesungguhnya baik tidaknya seseorang bukan ditentukan panjang dan pendeknya umur yang dimilikinya, tetapi kualitas amal yang diperbuatnya. Panjang umur tidak akan bermakna apa-apa, bahkan bisa jadi justru akan melenakannya, menjadikan seseorang lalai dengan tujuan hidup yang sesungguhnya. Panjang umur justru akan menambah beban yang akan dideritanya kelak di akhirat jika hanya diisi dengan keburukan serta kejahatan perilaku semasa hidupnya.

Umur yang pendek dengan kualitas amaliyah positif yang berlimpah menjadi lebih baik daripada umur panjang dengan perilaku buruk yang tak henti-hentinya dilakukan.

Idealnya, jika kita dianugerahi umur panjang, maka itulah kesempatan bagi kita untuk memperbanyak bekal kehidupan akhirat. Semakin bertambah umur, semakin tinggi kualitas ibadah yang kita lakukan, semakin dekat kita dengan Allah Swt. Jika demikian kenyataannya, maka kita akan menjadi manusia-manusia terbaik.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah Saw pernah mengatakan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain” (HR. Ahmad)

Kualitas seorang muslim dan seorang mukmin ditentukan oleh kualitas jalinan hubungan dengan Allah dan juga dengan manusia. Bukanlah mukmin yang baik, yang hanya mementingkan hubungan dengan salah satu dari dua hubungan di atas.

Dalam al-Qur’an disebutkan istilah hablun minallah (hubungan dengan Allah) dan hablun minannas (hubungan dengan sesama manusia).

Seseorang yang sangat taat menjalankan ritualitas ibadah, seperti shalat, puasa, serta ibadah-ibadah yang bersifat individu lainnya, tetapi abai terhadap ibadah sosial, tidak peduli dengan lingkungan, tidak pernah berempati terhadap nasib dan penderitaan orang lain, maka belum dikatakan sebagai mukmin yang baik. Karena ia hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak memerhatikan orang lain.

Ya, kehadiran kita di tengah-tengah lingkungan tempat kita tinggal, keberadaan kita di tengah masyarakat, hendaknya memberi arti penting, memberi nilai postif, menghadirkan manfaat bagi mereka.

Untuk apa kita hidup berlimpah harta, menyandang posisi terhormat, memangku jabatan prestisius, memiliki status sosial tinggi, tetapi tidak dapat memberi manfaat bagi orang lain. Percuma saja kita hidup berkecukupan bahkan berlebih dengan segala fasilitas yang kita miliki, tetapi kehadiran kita tidak berarti apa-apa bagi orang-orang di sekeliling kita. Atau dengan kata lain wujuduhu ka adamihi (adanya seperti ketiadaannya), karena orang tidak pernah merasakan manfaat apa pun dari kita.

Sungguh ironis ketika kita menyaksikan seseorang yang begitu khusyuk dan tenggelam dalam ibadah ritual, tetapi lalai dan abai terhadap ibadah sosial. Dia rajin shalat, tetapi dia rajin juga melukai hati dan perasaan orang lain. Dia begitu semangat untuk menunaikan ibadah haji dan umroh, bahkan berkali-kali, tetapi dia lupa bahwa anak-anak tetangganya yang kekurangan tidak mampu melanjutkan sekolah karena ketiadaan biaya. Dia tekun menghadiri majelis-majelis taklim, tetapi dia tidak pernah memedulikan anak-anak yatim di sekitar rumah tempat tinggalnya. “Tidak beriman salah seorang di antara kamu hingga dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri” (H.R Bukhari dan Muslim).

Beberapa hadis di atas menegaskan bahwa manusia terbaik adalah mereka yang mampu memberi banyak manfaat kepada orang lain.

Kualitas keimanan seseorang, tidak hanya disebabkan oleh ketaatannya menjalankan ritualitas ibadah formal semata, tetapi juga ditentukan oleh kualitas ibadah sosialnya, yaitu kepeduliannya terhadap nasib dan penderitaan orang lain, kepekaannya terhadap kondisi sosial, serta empatinya terhadap orang lain.

  • Ruang Inspirasi, Bakda Sahur, Senin, 27 Maret 2023.

Berita Lainya...

Verified by MonsterInsights