TAPSEL-AcehSumut, ekspresinews.com
Ada momen-momen di mana satu kalimat dari pejabat tinggi bisa merangkum semua yang salah dengan
Tanggal 28 November 2025, saat ratusan mayat masih tertimbun lumpur di Tapanuli, saat ribuan orang kehilangan rumah, saat jalan lintas Sumatera putus total, beliau menggelar konferensi pers dan berkata kurang lebih begini:
“Memang terlihat mencekam karena berseliweran di media sosial, tapi begitu kami cek, banyak daerah sudah tidak hujan lagi dan relatif membaik.”
Saya ulangi: ratusan orang mati, ratusan hilang, tapi menurut Kepala BNPB, itu cuma “terlihat mencekam di medsos”. 🤯
Dua hari kemudian, tanggal 30 November, beliau baru terbang ke Tapanuli Selatan. Turun dari helikopter, melihat langsung lumpur setinggi atap rumah, mayat-mayat yang baru ditemukan, warga yang menangis memeluk foto keluarganya yang hilang. Baru saat itulah beliau bilang, dengan muka terkejut: “Saya tak mengira sebesar ini. Saya mohon maaf, Pak Bupati.”
Jadi begitu? Baru percaya setelah melihat sendiri? Berarti selama ini keputusan soal nyawa orang diambil dari balik meja di Jakarta sambil scroll-scroll Twitter? Baru sadar bencana itu nyata setelah menginjak lumpur dan mencium bau mayat?
Ini bukan soal salah bicara. Ini soal mentalitas.
Mentalitas pejabat yang menganggap video viral di TikTok dan Instagram cuma “konten”, bukan jeritan warga yang rumahnya hanyut cuma “efek medsos”. Mentalitas yang menjadikan parameter birokrasi lebih penting daripada fakta bahwa ada 442 orang (per hari ini) sudah terkubur hidup-hidup.
Kita pernah mengolok-olok pejabat luar negeri yang bilang “let them eat cake”. Ternyata versi Indonesia adalah “let them post di medsos”.
Yang paling menyakitkan, permintaan maaf itu pun terlambat dan terpaksa. Bukan karena hati nurani, tapi karena akhirnya terpaksa turun ke lapangan setelah dikritik habis-habisan. Kalau tidak ada tekanan publik, mungkin sampai sekarang beliau masih yakin bahwa banjir bandang yang menewaskan ratusan orang itu cuma “kelihatan mencekam doang”.
Inilah kegoblokan yang sesungguhnya: bukan tidak tahu, tapi tidak mau tahu sampai dipaksa tahu. Bukan tidak bisa empati, tapi memilih tidak berempati sampai tidak ada pilihan lain.
Semoga Tuhan mengampuni kita semua yang diam saja setiap kali pejabat model begini masih dibiarkan duduk di kursi empuk mereka, sementara rakyat dikubur lumpur sambil menunggu “verifikasi lapangan”.
By: Ruly Achdiat Santabrata
Dikirim Hj.Hagia Sofia
+62 822-1478-lJIB
(Korlipda-AS/RedWAGProMuslimAswaja)
#Terintegrasi Mediacetak AMPER@ PressTASI PUSAKA EksPRESSi dan JAringan Wartanet Aktivis Relawan nusantarA
📱083148223467. 081802391556. 085701336668. 083117120679





