Partai politik besar sudah mengutuk hinaan Rocky Gerung terhadap Presiden Joko Widodo. Dan banyak pihak melakukan hal sama. Bahkan mengancam untuk membawanya ke ranah hukum.
Sementara itu, Presiden Joko Widodo malah menganggap hinaan Rocky Gerung itu angin lalu saja. Tidak digubris.
Anjing menggonggong khafilah tetap berlalu.
Namun ada partai besar yang sampai merasa perlu untuk mengeluarkan pernyataan resmi partai yang berisi kutukan keras bak dewan para dewa di swargaloka mengutuk seorang dedemit di nerakaloka.
Kita kagum juga dengan kutukan dewa itu yang dibarengi (secara implisit) pujian terhadap diri sendiri. Begini katanya,
“Kami mengutuk oknum dedemit tersebut, itu adalah kerusakan akhlak, suatu degradasi moral yang dibarengi kemandulan akal sehat. Dedemit itu sedang berusaha berusaha menghasut para manusia penuh akhlak (seperti yang kami contohkan) dengan ujarannya yang tendensius dan nirbudi pekerti.”
Gimana, cukup keras dan mantap bukan?
Hanya saja kita heran, mengapa terhadap hinaan yang dianggap angin lalu oleh Presiden Joko Widodo itu, mereka menampakkan wajah api murka yang tak bisa didinginkan oleh es di kutub selatan.
Tapi terhadap korupsi (perampokan para kaum berdasi) di proyek BTS (Rp 8,3 triliun) mereka malah bungkam seribu bahasa. Ya, mengapa? Bukankah inilah sebetulnya hinaan yang sehina-hinanya terhadap harkat dan martabat bangsa.
Tak ada pernyataan resmi partai itu, padahal ada oknum-oknum yang terafiliasi dengannya yang sudah jadi tersangka.
Para buzzer-nya malah bilang kasusnya sudah ditangani oleh kejaksaan, biarlah proses hukum yang sedang berjalan tanpa diintervensi parpol.
Mega korupsi ini magnitude-nya besar sekali, semua anggota parleman (terutama di Komisi-1) malah melakukan aksi tutup mulut.
Deviasi proses, tanpa pengawalan publik, bisa terjadi, berbelok ke arah tak menentu. Buktinya, ratusan miliar telah digelontorkan, terungkap dalam BAP kasus korupsi BTS ini, Itu semua dimaksudkan untuk meredam agar skandal tidak mencuat ke publik.
Dulu di kasus Bank Century (Rp 6 triliun) dilakukan RDP sampai ke pembentukan Pansus. Mengapa yang ini malah mengkeret semua? Diam.
Padahal ada nama-nama besar di Komisi-1 ini. Sebut saja misalnya: Puan Maharani, Adian Napitupulu, Utut Adianto, Effendi Simbolon, TB Hasanudin, Meutya Hafid, Lodewijk Paulus, Nurul Arifin, Fadli Zon, Prananda Paloh, Muhaimin Iskandar, Sjarifuddin Hasan, Hanafi Rais, dan lain-lain.
Namun semua tutup mulut. Padahal sudah beberapa bulan sejak kasus ini mencuat ke publik.
Mungkinkah rakyat yang katanya mereka wakili itu “…meminta Badan Bantuan Hukum untuk menyiapkan opsi gugatan”?
Bukankah dengan korupsi BTS ini hak rakyat untuk memperoleh (akses) informasi (pendidikan) telah disabotase (dirampok) oleh konspirasi multi-partai para koruptor itu?
Bukan cuma itu, kesempatan untuk rakyat kecil lewat UMKM berdagang lewat platform internet di seantero negeri pupus sudah.
Kalau mereka yang ada di Komisi-1 adalah sungguh para petugas partai yang terhormat, maka tolong tugaskanlah mereka untuk buka mulut.
Jakarta, Selasa, 1 Agustus 2023
Andre Vincent Wenas,MM,MBA. Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis PERSPEKTIF (LKSP), Jakarta.